Orang Islam: mayoritas arogan kah?

Welgedewelbeh

Banyak orang Kristen atau Katolik yang mungkin bertanya-tanya mengapa jarang sekali orang Islam memberikan ucapan selamat natal. Bahkan mungkin di antara anda ada yang bertanya-tanya mengapa sahabat karib saya sendiri yang muslim tidak berucap selamat Natal buat anda. Padahal anda selalu mengucapkan selamat hari raya Iedul Fitri atau selamat berpuasa Romadhon buat sahabat anda itu. Di sisi lain mungkin anda pernah membaca spanduk yang menyatakan bahwa mengucapkan natal itu Haram hukumnya buat orang Islam. Sebagian mungkin merasa cukup dengan penjelasan singkat, bahwa itu haram bagi orang Islam. Sebagian orang Kristen/Katolik mungkin merasa biasa-biasa saja dengan status haram mengucapkan Natal bagi orang Islam, namun tidak menutup kemungkinan banyak yang merasa jengkel dengan hal itu.  Bakan pernah mulut dapati orang yang marah karena itu, diharamkan baginya seperti disamakan dengan sesuatu yang dibenci atau menjijikkan (lihat gambar). Anda yang ringan saja mengucap selamat Idul fitri buat kawan anda yang muslim, mungkin merasa kalau orang Islam itu tidak adil, atau bahkan sombong … mau dikasih selamat tapi tidak mau ngasih selamat. Sama-sama hari raya-nya kok gak sama solidaritasnya. Selain yang terimo atau pun yang jengkel, Mulut juga yakin kalau banyak juga yang ingin tahu ada motivasi apa dibalik status haram tersebut, apakah karena kolotnya ajaran Islam atau karena sikap yang arogan?.

komen

Baca lebih lanjut

Adili pimpinan dan backing FPI, Bubarkan FPI

Welgedewelbeh

Kasus monas 1 Juni kemaren yang diikuti dengan adu opini di berbagai blog, milis, forum dan lain-lain, berbagai macam fitnah serta pemelintiran fakta-fakta membuat mulut tidak tahan dan muak dengan itu semua. Pelaku kekerasan FPI harus diproses hukum dan ditahan. Pimpinan FPI serta dalang-dalangnya harus diungkap dan diadili, organisasi FPI harus dibubarkan.

Opini-2 dari blog-2 ataupun milis-2 yang sedang bersliweran mungkin saja sangat bias. Apalagi testimoni-2 ataupun kutipan korespondensi orang-2 yang dituduh sebagai aktor intelektual kerusuhan untuk mendukung teori konspirasi validitasnya juga masih simpang siur. Baca lebih lanjut

Terkait konflik PKB, detik.com tidak netral

Welgedewelbeh

Berita politik paling panas dalam dua minggu terakhir ini adalah berita tentang konflik di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Hampir semua siaran berita, baik cetak maupun elektronik (termasuk didalamnya adalah portal berita online) juga turut menyoroti konflik tersebut. Manuver demi manuver yang dilakukan oleh kedua kubu selalu saja memiliki daya tarik sendiri bagi media untuk memberitakannya. Sayangnya beberapa media massa yang seharusnya menjaga netralitasnya ternyata memiliki kecondongan-kecondongan keberpihakan. Yang ingin mulut soroti saat ini adalah portal berita detik.com, sebagai media masssa berpengaruh dan memiliki pelanggan yang sangat luas ternyata tidak menjalankan kode etik jurnalistik secara baik. Baca lebih lanjut

Yang hilang di era informasi itu telah kembali

welgedewelbeh

Semenjak era informasi mulai mewabahi negeri ini, mulut merasakan ada suatu tradisi yang sangat penting yang perlahan-lahan memudar. Apa yang menghilang itu ? yaitu tradisi intelektualisme. Kemudahan dan kemurahan berkomunikasi secara langsung menggunakan ponsel, menina-bobokan anak-anak muda kita dan membunuh daya intelek generasi bangsa ini secara perlahan-lahan. SMS dan e-mail sebagai sarana komunikasi yang baru yang lebih murah dan real time membuat layanan jasa pos menjadi sepi peminat. Bahkan masa panen jasa pos yang biasanya berlangsung di saat-saat menjelang Idul Fitri dan Natal pun kini juga semakin kehilangan pelanggannya.

Lantas apa hubungan antara sepinya jasa layanan kantor pos dan intelektualisme ?. Baiklah simak penjelasan berikut ya …. Baca lebih lanjut

Gusdur tidak konsisten ?

welgedewelbeh

Akhir tahun merupakan momentum yang banyak digunakan orang terutama para blogger untuk memaklumatkan resolusi, kilas balik, refleksi, meluncurkan album dan lain-lain, agar menjadi lebih baik di masa mendatang ke ruang publik. Serasa tidak mau ketinggalan, partai politik A dan B, ormas C dan D, pebisnis, para politisi, kelompok penggiat masyarakat dan lain lain pun melakukan hal serupa. Para tokoh politik pun memanfaatkan momentum ini untuk mendapatkan publisitas atas apa yang ingin dia raih di tahun mendatang, terkait ataupun tidak dengan target politik menjelang pemilu 2009 nanti.

Satu hal yang menarik dari berbagai acara di akhir tahun 2007 tersebut adalah pernyataan Gusdur bahwa beliau mau maju kembali menjadi capres Indonesia di pemilu 2009 yang akan datang. Lho gus barusan kemaren (bulanNovember 2007) kan bilang kalau tidak bersedia menjadi capres di pemilu 2009, kok sekarang ngomongnya lain lagi?. Apakah njenengan tidak khawatir dianggap plin-plan atau tidak konsisten oleh rakyat di republik ini?. Welgedewelbeh …
Para pengagum dan orang-orang yang menghendaki Gusdur menjadi presiden pasti telah menyadari hal ini dan akan (mungkin sudah) menyiapkan seribu satu penjelasan akan sikap Gus yang satu ini. Begitu pula sebaliknya, para pembenci Gusdur, lawan politik ataupun orang yang sudah kadung sebel dengan segala tindak tanduk dan statemennya akan memakai fakta ini untuk mengecilkan beliau.

Posting ini tidak dibuat untuk menakar kekonsistenan Gusdur, ataupun menghakimi pilihan yang dibuatnya. Akan tetapi untuk mengajak kita semua merenungkan lebih dalam lagi makna konsistensi.

Bagi kelompok orang yang pertama, Gusdur itu adalah orang yang konsisten. Konsisten dalam menebarkan dan mengamalkan pluralisme dan kemanusiaan. Konsisten membela kaum tertindas, baik dari golongan mayoritas ataupun minoritas, tak peduli siapa yang ditindas (bahkan diri sendiri) dan siapa yang menindas, kawan sendiri ataupun lawan, menaikkan popularitas ataupun menghancurkan reputasinya. Mereka akan berkata kalau Gusdur itu konsisten di tujuan dan niat, caranya bisa jadi berbentuk macam-macam termasuk berubah pernyataan dengan sangat cepat.

Bagi mereka, bisa jadi ketidak-konsisten-an Gusdur kali ini didasari oleh rasa prihatin yang luar biasa terhadap perkembangan terakhir ke arah mana bangsa ini akan dibawa. Mulai dari merebaknya kekerasan yang berlindung alasan klasik kemurnian agama, sampai pada masalah serius seperti pelanggaran konstitusi kebebasan berpendapat dan beragama, termasuk sikap penakutnya presiden dalam hal ini. Arah pembangunan ekonomi yang lebih berpihak pada kapitalis besar dan disetir oleh kepentingan asing. Melebarnya kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin dan lain sebagainya. Semua isu penting tersebut “memaksa” Gusdur untuk mau ber susah-susah lagi (mau) menjadi calon presiden.

Kelompok pertama ini, juga akan menambahi bahwa Gusdur itu bukan orang yang “pedulian”. Pasti akan dikatakan kalau beliau itu nggak pernah mau peduli dikatakan nggak tahu diri, ngawur, kafir, sesat, apalagi cuman dikatakan plin plan dan nggak konsisten. Atau kasarannya, yang penting menempatkan kepentingan dan arah bangsa padda rel yang benar nggak peduli mau jadi presiden atau tidak.

Bagi orang-orang yang memang sudah nggak demen Gusdur pasti akan bilang: “nah tuh kan apa gue bilang …. tambah satu lagi bukti ke-mencla-mencle-an gusdur“. Dari sononya sudah nggak konsisten, mau dipegang apanya omongan dia itu. Orang nggak konsisten macam ini kan berbahaya banget kalau mimpin negara, bisa anjrut-anjrutan negeri ini jadinya. (dan biasanya) Akan ditambah-tambahi pula dengan sederet berbagai “prestasi” buruk dan bukti-bukti lain keplin-plan-an Gusdur semasa memimpin negeri ini di masa lalu.

Hmmmh … mengenai hal ini mulut jadi teringat sendiri akan posting susahnya untuk konsisten yang dibuat mulut beberapa bulan yang lalu. Untungnya mulut hanyalah orang nggak penting biasa yang konsisten atau tidaknya diri tidak berpengaruh pada kehidupan orang banyak. Jadi ingat sepenggal kalimat yang mulut tulis di sana …

Menurut mulut, konsisten itu bagai pedang bermata dua, bisa ke arah positif dan sebaliknya bisa juga ke arah negatif. Sehingga sikap berhati-hati sangat penting untuk dipake sebagai pendamping sikap konsisten. Jangan sampai sikap tidak mau berubah konsisten kita itu malah menjadikan kita lebih buruk dan tidak meningkatkan kualitas kita sebagai manusia. Jangan karena kawatir dianggap tidak konsisten lalu kita takut berubah, padahal perubahan tersebut akan membawa kita kepada kebaikan, atau … kalau kita tidak berubah malah membawa kita pada keburukan.

Nah apakah Gusdur memang manusia yang nggak mau terikat lagi dengan tanggapan-tanggapan publik mengenai segala pernyataan, keputusan dan tindak-tanduknya?, ataukah ini hanyalah tambahan bukti saja bahwa Gusdur memang tidak konsisten?.

Semua terserah anda yang menafsirkan kan …

Semoga saja, apapun yang terjadi pada negeri ini adalah yang terbaik yang memang berhak kita terima dari Yang Kuasa. Kalaupun kita memang belum berhak menerima yang terbaik semoga saja dimudahkan jalan kita untuk menjadi bangsa yang berhak itu. (*Mode maksa Tuhan : On 🙂 ) he he he. Yang terbaik sajalah …. dan harus yang terbaik ya Tuhan yaa … yaa

Ternyata niat baik saja (dianggap) tidak cukup

welgedewelbeh

Beberapa waktu yang lalu, mulut terlibat dalam sebuah diskusi yang cukup asyik dengan saudara Wibisono Sastrodiwiryo di blog budayawan muda miliknya. Gara-garanya adalah komentar mulut di postingan Isyarat Pak Harto di mana mulut menyatakan tidak menyetujui beberapa poin dari isi postingan tersebut. Komen pertama mulut ditanggapi dengan baik oleh sang empunya blog, meski sempat dikira kurang jeli membaca artikelnya.Dengan semangat berdiskusi yang hangat mulut melanjutkan mengajukan beberapa tanggapan dan meyakinkan bahwa mulut sudah cukup teliti di komen ke dua.Yang mulut nyesel adalah di komen ke-dua tersebut, mulut pake ngajak bercanda penulis dengan mengatakan bahwa mungkin malah dia yang kurang teliti, juga bahwa posting itu bukanlah Isyarat Pak Harto melainkan isyarat kalau si penulis adalah orang yang ngefans Amin Rais. Nah mungkin gara-gara mulut tetep bersikukuh pada pendapat semula dan karena guyonan tersebut, akhirnya mulut mendapat komen balik yang beberapa poinnya cukup pedas.

Puncaknya adalah ketika identitas mulut mulai dipertanyakan dan dipermasalahkan. Dikatakannya bahwa diskusi tanpa identitas adalah jauh dari apa yang namanya bertanggung jawab. Bagi dia identitas adalah elemen yang penting dalam berdiskusi. Bahkan secara tersirat hidden identity yang dipilih holeh mulut seperti dijelaskan dalam disclaimer kami dianggap tidak mencerminkan sebuah kredibilitas yang tinggi.

Satu hal yang janggal dalam komen balik kedua ini adalah, sikap defensif yang luar biasa yang ditunjukkan oleh kawan potensial yang mengaku sebagai budayawan muda ini. Seperti diambilnya posting pertama mulut sebagai dalih bahwa mulut tidak bisa memahami jalan pikiran Amin Rais. Padahal jelas-jelas (kalau mau baca dengan teliti posting tersebut — bukan judulnya saja), maka akan jelas bahwa tujuan postingan tersebut adalah untuk mengajak kita semua berempati, dan nggak gampang menyesatkan kelompok lain.Sepertinya kok kawan kita yang satu ini mencari-cari segala kelemahan personal mulut untuk tidak terus fokus menanggapi topik yang mulut diskusikan, yaitu soal Amin Rais dan reformasi. Mungkin inilah yang disebut para politisi ataupun aktivis sebagai pembunuhan karakter. Komen balik kedua tersebut diakhiri dengan menyebut disclaimer mulut sebagai sebuah pernyataan yang kontradiktif. Dalam bahasa dia sendiri, dia menyatakan “Niat baik tanpa identitas? Bagaimana mempertanggung jawabkannya? Tapi itu urusan anda. Sebagus apapun pikiran dan gagasan anda tak bisa dipertanggung jawabkan.” Mengabaikan seluruh serangan dan ke OOT-an bahasan, mulut terus melanjutkan diskusi dengan penuh prasangka baik, harapan dan rasa tanggung jawab, setidaknya demikianlah suasana hati mulut menurut mulut sendiri. Coba saja lihat komen terakhir mulut dalam diskusi tersebut. Dimulai dengan permintaan maaf, mengatur segala kata dengan kontrol sopan santun dan adab ketimuran yang mulut yakini merupakan nilai yang adiluhung. Tidak ada satupun “serangan” di komen balik kedua yang mulut tanggapi dengan “serangan” balik lagi karena mulut nggak ada waktu untuk debat kusir.

Tapi apa daya, harapan tinggal harapan. Dengan hati yang hancur akhirnya tanggapan balik ketiga atas komen ketiga mulut harus mulut terima. Beberapa link berita memang masih diberikan untuk membahas topik diskusi, selebihnya .. sebagian besar adalah kelanjutan serangan kepada karakter mulut. Tidak perlu rasanya mulut kupas satu persatu apa serangan balik yang mulut terima di komen balik tersebut toh semua blogger bisa menilai sendiri dari komen balik tersebut. Yang lebih menyedikan adalah niat baik mulut untuk minta maaf ditanggapi dingin dengan berkata :

“Permohonan maaf andapun sulit saya tanggapi karena siapa yang harus saya maafkan? anda bukan siapa siapa.”

Mulut tidak hendak melanjutkan diskusi di sana toh dia sendiripun telah menyatakan enggan untuk berdiskusi secara lebih jauh dengan mulut dengan mengatakan :

“BTW: Saya males membahas masalah anda ini, membuat postingan saya jadi tidak fokus.”

Baiklah, mulut pun tidak melihat ada niat yang baik dari saudara Wibisono Sastrodiwiryo dalam menanggapi maksud baik mulut. Semoga saja, itu tidak menjadi bunuh diri intelektual kawan kita yang satu ini.

 

Semua diskusi di atas adalah background dari posting mulut kali ini. Diulas terlebih dahulu dengan bahasan yang dicoba diutarakan seobyektif mungkin agar para pembaca paham latar belakang tulisan ini. Masalah hidden identity dari seorang blogger seperti yang mulut pilih dan kredibilitasnya di blogosphere Indonesia penting untuk diangkat di sini, karena ini menyangkut hajat hidup banyak blogger. Benarkah hidden identity = tidak bertanggung jawab = tidak memiliki kredibilitas?. Simak saja deh ulasan mulut berikut ini yang sebagiannya diambil dan dimodifikasi dari komentar ke-tiga mulut di artikel yang bersangkutan.

Semoga saja, ulasan ini bisa menjadi pelajaran yang berharga buat kita semua para blogger Indonesia. Harapan mulut ke depan, masalah ini tidak perlu terlalu diributkan lagi dan marilah membangun negeri ini dalam kerangka rukun blogger dan niat yang baik. Bagi mulut, terlalu sayang energi dan waktu dibuang-buang hanya untuk meributkan hal yang tidak terlalu penting semacam ini. Akan tetapi, tentunya semua terserah anda …. andapun mulut undang untuk unjuk pendapat dalam masalah ini di forum komentar dari artikel ini.

———————————————————->

Menulis tanpa identitas, bukanlah hal baru di dunia ini. Dunia sastra kita pun pernah mengalami fase dimana para penulisnya adalah anonim. Pilihan ini tidak membuat mereka dikatakan sebagai orang yang tidak bertanggung jawab, bahkan beberapa diantaranya adalah karya sastra yang luar biasa dan mendapat apresiasi yang tinggi. Tanggapan saudara Wibisono Sastrodiwiryo terhadap hal ini dengan mengatakan bahwa mereka tidaklah anonim akan tetapi memiliki nama alias sebenarnya sudah terjawab dari awwalnya. Bukankah “mulut juga merupakan sebuah nama alias juga?. Penggunaan nama alias semacam ini tentu saja didasari oleh sebuah pemikiran dan tujuan tertentu, dalam hal ini telah dijelaskan semua dalam disclaimer blog mulut.

Bahkan kalau kita ikut mengalir bersama zaman, dan aware dengan aliran jaman tersebut. Maka dunia intelektualisme bentuk baru tidaklah harus beridentitas. Ya … dunia maya Internet memaksa kita untuk memaknai ulang makna eksistensi manusia dan identitas kemanusiaan. Dalam bahasa pak Ribut Wiyoto “internet dapat mewujudkan gagasan kebudayaan post-Filosofi”. “Sebuah karya sastra cerdas” yang bergerak dari satu pemikiran filsuf besar ke filsuf besar lainnya tanpa sungkan, sambil tidak segan memunculkan pemikiran sendiri secara kritis. Mengajukan “deskripsi, sistem simbol dan cara pandang” yang lain.

Lebih Jauh lagi, dengan adanya internet, beliau mengatakan “telah terjadi perubahan konsepsi kemanusiaan” itu sendiri. Kasarannya “di internet, tidak ada yang tahu kalau Anda berwujud anjing” he he he. bener nggak?. Kalau kita mau jujur siapa yang bisa jamin kebenaran identitas seseorang di Internet?. Terlalu banyak kasus blog yang menggunakan identitas yang seakan-akan benar, dilengkapi dengan foto, dan nomor telepon de el el segala padahal itu palsu. Siapa yang tahu kalau mulut ini ternyata Amin Rais atau kang Jalal atau bahkan SBY sendiri he he he.

Pertanggung jawaban dan integritas secara intelektual di internet itu tercermin dari apa yang disampaikan dan kemauan yang bersangkutan untuk berkomunikasi. Sejauh anda bisa dihubungi, memiliki email address, tidak menutup komen dan berkata dengan bertanggung jawab maka itulah inti sikap bertanggung jawab secara intelektual di internet. Lebih jauh lagi secara moral … pertanggung jawaban itu sejatinya kepada Tuhannya sendiri-sendiri.

Cara berfikir tentang tanggung jawab intelektualitas yang sekan wajib beridentitas mirip dengan bangsa barat, dimana sekarang mulut sedang menimba ilmu. Di dunia barat dibiasakan bersikap kritis, sayangnya sikap kritis itu terlalu berat dimaknai sebagai “lihatlah siapa yang berbicara”. Jika ada seseorang membaca sebuah jurnal, maka initial assessment dari jurnal tersebut adalah siapa penulis jurnal itu, jurnal apa yang memuat, berapa banyak jurnal lain yang dia hasilkan, dari lembaga mana penulis itu berasal. Semua yang disebutkan mulut di atas digunakan sebagai judgment awal penentu layak tidaknya sebuah jurnal untuk dilihat lebih lanjut. Inilah budaya popularity based yang memang merupakan salah satu fundamen bangunan sosial bangsa barat.

Sikap kritis demikian tentu boleh-boleh saja diadopsi, akan tetapi kalau digunakan sebagai satu-satunya dasar judgment … maka kita akan rugi sendiri. Ibaratnya … bagaimana jika ada mutiara di dalam lumpur dasar laut yang kotor. Sikap kritis semacam itu hendaknya membantu kita melihat sebuah opini atau karya intelektual secara lebih komprehensif itu saja.

Secara idealita, bangsa kita sebenarnya memiliki cara pandang yang lebih mulia akan obyektifitas intelektual. Telah sering diajarkan pada kita untuk melihat apa yang diucapkan dan bukan siapa yang mengucapkan. Itulah sebenarnya yang menjadi landasan filosofi blog mulut. Mendidik diri sendiri untuk menerima kebenaran secara apa adanya, yang bisa datang dari siapa saja dan dari mana saja.

Mengenai integritas seseorang terkait dengan jelasnya identitas orang tersebut sebagaimana saudara Wibisono Satrodiwiryo rujukkan ke tulisan Fatih Syuhud. Bagi mulut tulisan itu bahkan memperkuat argumen yang diajukan mulut tentang identitas itu sendiri. Tidak ada di sana keharusan bahwa untuk ber-integritas seseorang harus memiliki identitas yang jelas, yang ada adalah kepribadian yang jelas, kepribadian yang selaras antara ucapan dan tindakannya.

Bahkan pandangan yang lebih fundamental soal identitas ini secara indah dikutip oleh Alex R. Nainggolan dari pemikiran Goenawan Mohammad, bahwa para sastrawan “harus menyerahkan diri mereka sebagai “orang tanpa identitas”—dengan mengutamakan prinsip humanisme universal, sehingga memandang sesuatu persoalan dengan lengkap”. Sekali lagi identitas mulut adalah tersirat dari buah-buah pikiran yang mulut hasilkan itu sendiri, silahkan saja semua orang mengkonstruk image identitas mulut berdasarkan persepsinya massing-masing. Toh meminta orang lain untuk mengakui diri sendiri sebagai orang yang anu atau orang yang ini juga merupakan tindakan yang sia-sia.

Penerapan konsepsi validitas pendapat dan perkataan seseorang terkait dengan integritas pribadi orang tersebut yang mulut diskusikan di sini tentu saja tidak bisa kita terapkan secara semena-mena dalam kasus menimbang sanad (ketersambungan hadits dari pengucap terakhir kepada rasulullah) dari sebuah hadits. Hadits adalah salah satu sumber hukum Islam, dimana kedudukannya adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Tentu saja kita harus berhati-hati mengambil perkataan Nabi kita dari orang yang tidak terpercaya. Sedangkan kita ini hanyalah manusia biasa, ucapan dan pendapat kita hanyalah satu dari sekian juta pendapat yang bertebaran di atas bumi. Tidak ada yang akan menjadikannya sebagai pegangan hidup yang bersifat eternal, jadi karenanya logika tersebut menjadi absurd di sini.

Hati-hatilah kita semua karena yang disebut-sebut orang sebagai intelektualisme dan sikap kritis itu dapat membuat kita mencerabut diri sebagian akar tradisi bangsa kita yang adi luhur. Membuat kita pongah dan berlari menjauh dari apa yang kita sebut dengan budaya yang santun, sikap yang saling menghormati dan budi pekerti yang tinggi.

Terakhir, soal niat/berbuat baik tanpa identitas (terutama dalam konteks sosial). Jika saudara seorang muslim, bukankah hal demikian (dalam hal-hal tertentu) malah dianjurkan?. Ingat nggak ungkapan berikut : “kalau bisa tangan kirimu tidak tahu ketika tangan kananmu bersedekah”. Oleh karena itulah banyak sekali kitab luar biasa dalam khasanah Islam klasik (turats — bukan kitab Taurat lho) ada banyak kitab yang pengarangnya (mushonnif — bahasa arab dari pengarang) hanya menyebut dirinya sebagai hamba Allah ataupun sebagai mushonnif saja.

Nah bagaimana pendapat anda semua, para blogger Indonesia, mengenai hal ini?. Pendapatnya kami tunggu di sini. Semoga diskkusi ini membawa manfaat bagi mulut, saudara Wibisono Sastrodiwiryo serta seluruh anak bangsa Indonesia.

Jayalah Indonesiaku, Jayalah Bangsaku.

Artikel terkait :

  1. Scientific and Credible Blogger
  2. Anonymity and credibility

Napas-napas kemerdekaan bangsa di Bulan Desember

welgedewelbeh

Di bulan Desember ini paling tidak terdapat tiga hari Nasional yang luar biasa maknanya akan tetapi tidak banyak yang menyadari dan menganggapnya sebagai sekedar hari nasional biasa. Ketiga hari nasional yang mulut maksud adalah Hari Nusantara, Hari Bela Negara dan Hari Ibu. Yang pertama diperingati setiap tanggal 13 Desember, yang kedua diperingati setiap 19 Desember sedangkan yang terakhir disebut diperingati setiap tanggal 22 Desember.

Mengapa ketiga hari tersebut mulut katakan memiliki makna yang istimewa?, tentu saja karena ketiga hari tersebut dipilih untuk memperingati tiga momen luar biasa dalam sejarah perjalanan bangsa kita. Tiga momentum sejarah yang atasnya kita seharusnya berbangga dan sekaligus malu sebagai generasi muda Indonesia tahun 2000-an. Lho kok bangga dan malu, apa nggak merupakan suatu paradox? OK deh untuk mendapat jawabannya silahkan simak penjelasan mulut berikut ini : Baca lebih lanjut

Terharu

Welgedewelbeh

Sudah hampir dua puluh hari mulut nggak bisa memulai menarikan jemari di atas kibot untuk meng-update blog. Setiap kali beberapa huruf diketikkan dan beberapa titik dititikkan langsung saja motivasi menulis buyar begitu saja. Terlalu banyak pikiran yang mengambang belum menemukan jalurnya untuk dituangkan, saling libat melibat dan masih sulit untuk bisa diuraikan menjadi rangkaian makna. Terlalu banyak pergulatan motivasi ngeblog yang menghalangi jemari mulut untuk memainkan musik tik tak tik tak di atas kibot.

Bukannya mulut nggak punya ide, akan tetapi ngupdate blog demi menjaga atau meningkatkan hit pembaca atau kasarnya memanage popularitas kayaknya tidak cukup kuat untuk menjadi niyat yang benar dalam ngeblog. Bagi mulut pribadi, niyat ngeblog yang baik kayaknya mudah terkotori oleh rasa takabur dan kekaburan motivasi oleh yang namanya popularitas.

Akan tetapi kayaknya pemikiran macam begini nggak boleh dipertahankan terlalu lama, toh juga berhenti ngeblog juga tidak membawa kemajuan pribadi dan peningkatan spiritual apa-apa. Kayaknya mulut ini maqom-nya masih manusia biasa yang selalu belepotan dosa, niyat yang masih berbelok-belok dan terlumuri nafsu-nafsu rendah yang sifatnya semu belaka. Kayaknya mulut ini harus selalu berusaha dan belajar dari sejarah hidup setiap waktu.

Baca lebih lanjut

Pembodohan ala Pers Malaysia

: Momen tepat menggugat tanggung jawab Pemerintah kita

Baru saja mulut menerima sebuah email yang melampirkan cuplikan berita dari kantor berita Malaysia (Bernama). Berita tentang aksi demo seniman reog dari kantor berita resmi Negeri tetangga tersebut sungguh “aneh” bin “ajaib”. Beberapa kali mulut membaca berita itu, dengan maksud ingin sungguh-sungguh memahami perasaan mereka, namun (dengan sangat menyesal) berulang kali pula mulut ngggak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.

Coba deh baca sendiri cuplikan berita tersebut seperti ini :

Duta Besar Malaysia ke Indonesia Datuk Zainal Abidin Mohamed Zain memerlukan hanya tiga minit untuk menyuraikan demonstrasi anti-Malaysia, yang sebelum itu berkobar-kobar dan kononnya akan berlangsung satu tindakan nekad di hadapan kedutaan di sini pagi ini.

Lebih 1,000 pendemonstrasi anti-Malaysia daripada kalangan aktivis kebudayaan Reog Ponorogo, yang diapi-apikan semangat anti-Malaysia oleh pelbagai laporan media massa yang menuduh Malaysia telah mengambil dan mengakui berhak terhadap kesenian itu, akhirnya menyuraikan diri selepas mendengar penjelasan itu.

Cuplikan yang lain lagi dari berita yang sama :

Setelah penjelasan yang menggunakan hanya kira-kira 50 patah perkataan sahaja itu, Zainal Abidin terus turun dari pentas itu dan kembali meneruskan tugas di pejabatnya, meninggalkan para pendemonstrasi itu terdiam seperti terpukau.

Artikel selengkapnya dari Bernama yang berjudul “Duta Besar Suraikan 1,000 Aktivis, Demonstrasi Anti-Malaysia” dapat dibaca di sini. Gimana, sudah ikutan ngakak seperti mulut nggak? wak kak kak kak …. cara memberitakannya itu lho seakan-akan dubesnya itu sakti mandraguna …. “hanya butuh waktu tiga menit, dan menggunakan tak lebih dari 50 kata saja sudah bisa membubarkan ribuan demonstran Indonesia” wa ka ka ka (sorry masih nggak bisa brenti ngakak).

Baca lebih lanjut

Sekulerisme itu perlu

Banyak orang menghadap-hadapkan sekulerisme secara langsung dengan agama sebagai sesuatu yang bertolak belakang. Sebagian yang lain malah cenderung menyamakan bersikap sekuler sebagai anti agama, bahkan kafir atau yang paling halus sebagai sudah teracuni budaya barat (westoxified). Namun pernahkah anda berpkir mendalam mengenai apa itu sekulerisme, mencoba menelaahnya melalui makna asalnya dan semangat yang dikandungnya alih-alih langsung membenci dan bersikap antipati?. Oleh karena banyaknya kesimpang-siuran pemahaman orang mengenai istilah ini, dalam kesempatan ini mulut akan ngomong dan mengupas tentang sekulerisme dan mengapa sekulerisme itu perlu.

Untuk memahami sebuah term, apalagi term yang berasal dari bahasa asing, kita perlu merujuk pada makna asli dari term tersebut sebelum mendapat berbagai atribut konotatif yang diberikan oleh pengguna term tersebut (mulut mengampanyekan untuk membiasakan melakukan hal ini juga ya ….). Hal ini sangat penting agar kita bisa tetap bersikap obyektif dan kritis terhadap sesuatu dan berfikir independen tanpa harus hanyut dalam arus mainstream pendapat besar.

Menurut http://www.yourdictionary.com
secu·lar·ism· (iz′m) adalah sebuah kata benda yang bermakna :

  1. worldly spirit, views, or the like; esp., a system of doctrines and practices that disregards or rejects any form of religious faith and worship
  2. the belief that religion and ecclesiastical affairs should not enter into the functions of the state, esp. into public education

Secara bebas, sekulerisme bisa dimaknai sebagai semangat, pandangan atau sifat keduniaan, atau sebuah doktrin yang memisahkan antara dunia dan semua yang terjadi di atasnya dari keyakinan relijius atau kekuatan gaib apapun. Makna yang kedua lebih pada aplikasi sekulerisme dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Memisahkan praktek kenegaraan, berbangsa dan bermasyarakat dalam segala levelnya dari cara pandang religius atau mistik tertentu.

Baca lebih lanjut